Kurikulum Merdeka Belajar yang diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim bertujuan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan berbasis pada kebutuhan siswa. Namun, implementasi kurikulum ini menuai berbagai tantangan, terutama dari para guru. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun mendesak agar kurikulum ini direvisi untuk mengatasi berbagai masalah, seperti beban kerja guru yang semakin berat, kurangnya pelatihan yang memadai, serta ketimpangan infrastruktur pendidikan. Artikel ini akan membahas mengapa PGRI meminta revisi dan apa saja yang perlu diperbaiki agar Kurikulum Merdeka Belajar dapat lebih efektif.
Mengapa PGRI Menginginkan Revisi Kurikulum Merdeka Belajar?
PGRI, sebagai organisasi profesi yang menaungi para guru di Indonesia, tentunya sangat peduli dengan kualitas pendidikan dan kesejahteraan para pengajarnya. Dalam beberapa kesempatan, PGRI menilai bahwa ada sejumlah persoalan mendasar dalam implementasi Kurikulum Merdeka Belajar yang perlu segera dibenahi. Beberapa alasan utama yang mendasari desakan revisi ini adalah sebagai berikut:
1. Beban Kerja Guru yang Semakin Berat
Salah satu keluhan terbesar yang diungkapkan oleh para guru adalah semakin beratnya beban kerja mereka dalam menghadapi Kurikulum Merdeka Belajar. Di bawah kurikulum ini, guru diharapkan untuk merancang pembelajaran yang lebih variatif dan lebih mendalam, namun tidak disertai dengan pelatihan yang memadai. Akibatnya, banyak guru merasa kewalahan dalam menyiapkan materi yang sesuai dengan standar kurikulum baru.
2. Kurangnya Persiapan dan Pelatihan Guru
Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar membutuhkan perubahan signifikan dalam cara pengajaran, yang tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah. Meskipun sudah ada pelatihan bagi guru, PGRI merasa bahwa pelatihan yang diberikan tidak cukup komprehensif. Banyak guru yang merasa kurang mendapatkan bimbingan yang tepat untuk memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip Merdeka Belajar dalam kelas.
3. Tidak Ada Standar Penilaian yang Jelas
Kurikulum Merdeka Belajar menekankan pada penilaian berbasis kompetensi dan pencapaian siswa, namun tidak ada pedoman yang jelas tentang bagaimana penilaian ini harus dilakukan. Tanpa standar penilaian yang jelas, banyak guru merasa kesulitan dalam menilai dan mengukur kemajuan siswa secara objektif.
4. Ketimpangan Infrastruktur dan Sumber Daya
Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar membutuhkan infrastruktur yang memadai, terutama dalam hal teknologi. Namun, banyak daerah di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, yang masih kekurangan fasilitas yang diperlukan untuk mendukung proses belajar yang berbasis teknologi. Hal ini menambah tantangan bagi guru dan siswa untuk mengimplementasikan kurikulum dengan optimal.
Dampak Negatif Kurikulum Merdeka Belajar
Jika masalah-masalah di atas tidak segera ditangani, dampaknya bisa sangat besar, baik bagi kualitas pendidikan maupun bagi kesejahteraan para guru dan siswa itu sendiri. Beberapa dampak negatif yang bisa terjadi antara lain:
- Penurunan Kualitas Pengajaran: Ketika guru kesulitan dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum baru, kualitas pengajaran bisa menurun. Ini tentu saja berdampak pada pemahaman dan pencapaian siswa.
- Stres dan Burnout Guru: Beban kerja yang semakin berat tanpa dukungan yang memadai dapat menyebabkan stres berlebihan bagi para guru, bahkan berpotensi mengarah pada burnout. Jika hal ini terjadi, kualitas pengajaran akan terpengaruh, dan siswa pun menjadi korban dari ketidakseimbangan ini.
- Ketimpangan Pendidikan: Ketimpangan antara sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dan yang kekurangan infrastruktur dapat memperlebar kesenjangan pendidikan di Indonesia. Siswa di daerah terpencil mungkin tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan siswa di kota besar untuk menikmati manfaat dari Kurikulum Merdeka Belajar.
Apa yang Diinginkan PGRI dari Revisi Kurikulum Merdeka Belajar?
PGRI tidak hanya mengkritik, tetapi juga memberikan beberapa rekomendasi untuk perbaikan Kurikulum Merdeka Belajar. Berikut adalah beberapa hal yang diinginkan oleh PGRI dalam revisi kurikulum ini:
1. Pelatihan Guru yang Lebih Terstruktur
PGRI menginginkan adanya pelatihan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan bagi guru, agar mereka bisa lebih siap dalam menghadapi perubahan yang dibawa oleh Kurikulum Merdeka Belajar. Pelatihan ini harus mencakup penguasaan materi, metode pengajaran, serta penggunaan teknologi dalam pembelajaran.
2. Peninjauan Beban Kerja Guru
PGRI juga meminta pemerintah untuk meninjau ulang beban kerja guru. Pengajaran yang berbasis pada pendekatan yang lebih fleksibel memang baik, tetapi apabila tidak dibarengi dengan pengurangan beban administrasi dan dukungan yang cukup, guru akan semakin terbebani. Dengan pengurangan beban kerja, guru dapat lebih fokus pada kualitas pengajaran.
3. Pengembangan Infrastruktur Pendidikan
Pengembangan infrastruktur, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang, harus menjadi prioritas dalam revisi kurikulum ini. Agar semua sekolah memiliki akses yang setara dalam penerapan Kurikulum Merdeka Belajar, pemerataan fasilitas dan sumber daya pendidikan harus menjadi bagian dari agenda utama.
4. Penyusunan Standar Penilaian yang Jelas
PGRI juga mendesak agar ada pedoman yang lebih jelas terkait dengan penilaian siswa di bawah Kurikulum Merdeka Belajar. Standar penilaian yang transparan akan membantu guru dalam mengukur perkembangan siswa secara adil dan objektif.
Kesimpulan
Desakan PGRI untuk merevisi Kurikulum Merdeka Belajar bukanlah suatu hal yang semata-mata berlandaskan pada ketidakpuasan, tetapi lebih pada keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan mempertimbangkan masukan dan rekomendasi dari PGRI, diharapkan kurikulum ini dapat lebih efektif dalam menciptakan pendidikan yang merata, berkualitas, dan berdaya saing. Pemerintah harus mendengarkan suara guru sebagai pelaksana utama di lapangan, sehingga perubahan yang terjadi bisa lebih sesuai dengan kebutuhan dan tantangan nyata di dunia pendidikan.